Rabu, 26 Februari 2014

Berikut ini kami cantumkan makalah dan hasil diskusi FKI-FUQAHA yang ke II (18 Semtember 2013) yang diselenggarakan di Kampus Universitas Darul 'Ulum As Syar'iyyah Hudaedah, Yaman.

STUDI ILMU USHUL FIQH:
SEJARAH, PENGERTIAN, MANFAAT DAN
TOPIKALITASNYA DALAM ISTINBAT (MENCIPTAKAN) HUKUM

A. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Ushul Fiqh bukanlah ilmu yang baru lahir pada zaman sekarang ini, akan tetapi ushul fiqh adalah ilmu yang sejak dulu sudah ada semenjak adanya ilmu fiqh . Ushul Fiqh dan Fiqh adalah ilmu yang memiliki ketarkaitan erat dalam menjalin hubungannya dan tidak bisa dipisahkan. Ushul Fiqh dapat di ibaratkan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh. Akan tetapi ilmu fiqh lebih dulu pembukuannya dari pada ilmu ushul fiqh, mulai dari penataan, kaidah-kaidah, peruntutan masalah sampai penertiban dalam bab-babnya .

1. Masa Nabi Muhammad Saw
Pada zaman Rasulullah Saw dan juga para sahabat, ilmu ushul fiqh sudah ada dan dipraktekkan dalam penggalian hukum syar’i (istinbat hukum), namun belum terbukukan seperti saat ini, karena pada masa itu Rasulullah Saw tidak membutuhkan kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh dalam menetapkan suatu hukum, karena semua permasalahan dapat dikembalikan dan diatasi langsung oleh Rasulullah, karena beliau merupakan mufti seluruh umat sekaligus penjelas dan pembawa hukum-hukum Allah Swt. Adapun sumber hukum yang menjadi landasan Rasulallah Saw dalam berrfaftwa adalah al-Qur’an dan Sunnah-sunnahnya.
Pasa zaman dahulu, Rasulullah juga melakukan ijtihad ketika tidak ada penjelasan al-Qur’an dan Sunnah. Salah satu kesan atau bukti bahwa Rasulullah melakukan ijtihad, yaitu beliau melakukan peng-qiyasan terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar bin Khattab ra ketika beliau bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar, saya mencium istri saya, padahal saya sedang berpuasa.” Lalu Rasulullah bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya kamu berkumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa?.” Lalu Umar menjawab “Hal seperti itu tidak apa-apa.” Kemudian Rasulallah bersabda “maka tetaplah kamu berpuasa .” Peristiwa ini merupakan bukti bahwa semenjak zaman Rasulullah, ilmu ushul fiqh sudah ada dan di praktekan langsung oleh beliau dengan para sahabatnya dalam mengatasi suatu masalah hukum-hukum syariat islam tanpa membutuhkan pembukuan atau kaidah-kaidah ilmu itu sendiri, karena mereka mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an (asbabul nuzul), sebab-sebab turunnya al- Hadist (asbabul wurud) serta cerdas dalam memahami kandungan makna al-Qur’an, karena mereka memiliki pengetahuan yang luas terhadap bahasa al-Qur’an yaitu bahasa arab.

2. Masa Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah Saw maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum-hukum islam adalah para sahabat. Pada masa ini banyak sahabat yang melakukan ijtihad ketika muncul suatu masalah yang tidak ditemukan nash-nashnya dalam al-Qur’an dan Hadist, pada saat berijtihad para sahabat telah menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun pada saat itu belum dirumuskan dalam suatu ilmu dan juga tidak perlunya pembukuan karena kedekatan mereka terhadap Rasulullah serta kepintaran dan kejelian mereka, sehingga pembentukan serta kodifikasi kaidah-kaidah ushul fiqh juga belum terlalu dibutuhkan .
Para sahabat melakukan ijtihadnya dalam menetapkan hukum-hukum islam dengan cara perseorangan maupun secara musyawarah. Adapun Keputusan atau kesepakatan mereka dari musyawarah dapat di sebut dengan Ijma’ Sahabat (ijtihad jama’i). Selain itu para sahabat juga melakukan ijtihad dengan metode Qiyas (ijtihad fardi), yang merupakan bagian dari konsep ilmu ushul fiqh . Salah satu contoh ijtihad yang dilakukan sahabat, adalah seperti yang dilakukan oleh Ali Karramallahu wajhah, ketika menghukumi orang yang minum khomer (arak), beliau berkata: “Apabila seseorang meminum khomer lalu mabuk, dan ketika sudah mabuk maka dia akan mengigau. Ketika mengigau dia akan berbuat semena-mena yang melampaui batas, maka dia melakukan Qodzaf (mencemari nama baik atau memfitnah). Oleh karena itu keharaman minum arak, selain ditetapkan dengan nash shorih baik berupa al-Qur’an dan Sunnah, juga dikuatkan dengan kaidah Sadd ad-Zari’ah .

3. Masa Tabi’in
Setelah masa kurun sahabat beralihlah ke kurun Tabi’in. Pada kurun tabi’in yang dimulai sekitar abad II sampai III hijriyah ini pun pembukuan ilmu usul fiqh juga belum terlalu dibutuhkan, karena para tabi’in masih bisa mengambil teori penggalian hukum syar’i dari para sahabat nabi yang masih tersisa, disamping itu kurun antara nabi dan tabi’in dianggap masih dekat, sehingga mereka masih bisa mempertanyakan langsung kepada para sahabat .

4. Masa Tabi’ Tabi’in
Pada masa ini, metode istinbat (penetapan) hukum semakin dibutuhkan para mujtahid. Hal ini disebabkan bertambah luasnya penaklukan-penaklukan (al-Futuhat) yang dilakukan Khilafah al-Islamiyyah, hingga sampai ke daerah–daerah yang di huni orang-orang non arab (ajam), yang menyebabkan beragam budaya, situasi dan kondis, serta adat istiadat yang semakin kompleks. Sehingga munculah masalah baru yang tidak didapati penjelasannya dalam al-Qur’an dan Sunnah .
Para Tabi’in ini melakukan ijtihadnya di berbagai daerah islam, seperti Madinah, Kufah, Basrah dan lain-lain. Dalam menetapkan hukum-hukum islam tersebut, banyak para Tabi’in yang berbeda metodenya, sehingga terjadilah perbedaan dan perdebatan di antara mereka, yang pada akhirnya memunculkan dua Madrasah Besar yang memiliki keistemewaan masing-masing dalam konsep istinbath hukum. Yaitu antara madrasah Madinah yang terkenal dengan metode “Riwayat Hadits” yang di pelopori Imam Malik dan madrasah Kuffah yang terkenal dengan metode “Ahli Ro’yu” yang dipelopori para murid Imam Abu Hanifah seperti Abu Yusuf dan Hasan as-Syaibani . Selain itu pula terjadinya penyusupan bahasa-bahasa non arab ke dalam bahasa arab, baik dalam ejaan, kata, ataupun susunan kalimat, serta tulisan maupun bacaan, yang menambah deretan fenomena yang semakin mempersulit memahami teks-teks al-Qur’an dan Sunnah. Namun pada masa ini ilmu ushul fiqh pun masih belum di bukukan dan di susun kaidah-kaidahnya.

5. Awal Muncul Ilmu Ushul Fiqh
Perbedaan dan perseteruan dua madrasah diatas telah memunculkan perhatian khusus diantara para ulama. Diantara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini adalah al-Imam Abdurrahman al Mahdi (135-198 H). Beliau meminta kepada Imam as-Syafi’i (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip berijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman secara umum. Maka lahirlah kitab ar–Risalah (Sepucuk Surat) karya Imam as–Syafi’i sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh. Beliaulah orang pertama yang menulis buku ushul fiqh, sebagai rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini. Beliau memang pantas sebagai Nasirus Sunnah (pembela sunnah) dan juga pencetus terciptanya ilmu ushul fiqh, karena beliau mempunyai pengetahuan luas dan dalam tentang madrasah Ahli Hadist dan madrasah Ahli Ro’yu. Selain ar–Risalah Imam Syafi’i juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul fiqh, seperti; Kitab Jima’ul Ilmi, Ibtholul Ihtisan dan Ikhtilaful Hadist .
Setelah munculnya kitab ar–Risalah, banyak ulama-ulama yang bermunculan membuat karya-karya ilmiah, sehingga penyusunan ilmu ushul fiqh terbagi menjadi 3 Thoriqoh yaitu:
1. Thoriqotul Mutakallimin
2. Thoriqotul Hanafiyah
3. Thoriqotul Muta’akhiri
Itulah sejarah ringkas tentang bagaimana asal muasal terbentuknya ilmu ushul fiqh menjadi dalam satu cabang ilmu tersendiri.

B. PENGERTIAN USUL FIQH
Ushul Fiqh merupakan ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk memahami hukum-hukum syari’at, yang diambil dari al- Qur’an dan Hadist. Hukumnya Wajib bagi penuntut ilmu, khususnya ilmu syari’at untuk mempelajarinya dan mengetahui bagaimana cara untuk menggali dalil dalam suatu hukum, khususnya pada zaman-zaman modern seperti saat ini. Ushul Fiqh terdiri dari dua susunan kata, yaitu “Ushul” dan “Fiqh”. Para ulama Ahli Usuliyyin telah menjelaskan, bahwa “Ushul Fiqh” mempunyai dua definisi yang berbeda .

1. Definisi Ushul fiqh sebelum terbentuk menjadi ilmu tersendiri .
Ushul fiqh sebelum dibentuk menjadi ilmu tersendiri dalam artian hanya berupa susunan yang saling bersandingan, dalam istilah nahwu bisa dikatakan {تركيب اضافي} berupa susunan dari kata “Ushul” dan “Fiqh”.
Adapaun kata “Ushul” adalah jama’ dari kata “Ashlun” secara etimologi berarti asas atau apa-apa yang menjadi pondasi, sebagaimana yang di firmankan Allah dalam surat Ibrahim ayat 24 .
Sedangkan kata “Ushul” secara istilah mempunyai dua arti yaitu :
1. Kata Ushul bermakna Dalil , misal : {الاصل في تحريم الزنا } asal dari keharaman zina, sebagaimana dalam firman Allah Swt {ولا تقربوا الزنا} “Janganlah kalian mendekati zina,” dari ayat ini menunjukan bahwa kata “Ushul” mempunyai makna “Dalil”.
2. Kata Ushul bermakna Kaidah yang tetap, misal: seperti perkataan ulama-ulama ahli nahwu : {الاصل في الفاعل الرفع وفي المفعول النصب } “ Asal-usul dalam Fail adalah di baca Rafa’dan Maf’ul Bieh di baca Nashab.” Dalam perkataan ulama ahli nahwu bisa diketahui, bahwa kata “Ushul” bermakna “Kaidah yang tetap .”
Adapun kata “Fiqh” secara etimologi berarti “Faham”. Imam ibnu Faris berkata dalam kitabnya bernama “al–Mujmal”, bahwa kata “Fiqh” adalah {العلم} mengerti atau mengetahui, yaitu setiap mengetahui atau mengerti sesuatu disebut “Fiqh”, sebagai mana firman Allah dalam surat at-Toha ayat : 28 .
Sedangkan “Fiqh” secara istilah adalah: Mengetahui terhadap hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah dengan dalil-dalinya yang detail.
Maksud “Mengetahui” disini adalah mengetahui hukum syari’at yang meliputi ilmu secara yakin ataupun dzhon (dugaan). Namun karena karakteristik dari fiqh adalah ijtihadi, maka fiqh hanya membahas hukum syari’at yang masih praduga (dzhon). Adapun hukum yang kapasitasnya yaqin, maka tidak Masuk dalam ranah ilmu fiqh, melainkan masuk dalam pembahasan ilmu Aqidah .
Maksud “Hukum-Hukum Syar’i” yaitu hukum-hukum agama yang ditetapkan dengan dalil-dalil Naqliyah (al-Qur’an dan Hadist), Ijma’, ataupun Qiyas. Mengecualikan dari hukum-hukum syar’i, yaitu hukum Aqliyyah (penetapan hukum dengan secara logika) seperti: Satu adalah setengah dari dua. Mengecualikan juga dari hukum Hissiyah (penetapan hukum dengan memakai perasaan) seperti: Api terasa panas dan membakar. Mengecualikan juga dari hukum Tajribah (penetapan hukum dengan cara eksperimen) seperti: Mengetahui bahwasannya racun itu mematikan. Dan mengecualikan juga dari hukum Wadh’iyyah (penetapan hukum dengan cara determinasi) seperti: Mubtada terbentuk dari jumlah ismiyyah dan selalu dibaca Rafa’.
Maksud “Amaliyyah” yaitu perkara yang berkaitan dengan operasional atau pekerjaan seorang Mukallaf seperti Shalat, Zakat, Haji dan lain-lain. Mengecualikan dari pada itu yaitu perkara yang berkaitan dengan I’tiqodiyah (keyakinan), seperti: Mentauhidkan Allah Swt atau mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka tidak dinamakan fiqh.
Maksud “Dengan dalil-dalil yang detail (tafshiliyyah)” adalah dalil-dalil yang hanya menjelaskan masalah dan hukum-hukum tertentu. Dalil–dalil ini diperoleh dengan cara an–Nadzar (mengamati) dan Istidlal (pengambilan dalil). Sebagaimana Allah berfirman dalam surat an–Nisa’ ayat 23 : {حرمت عليكم أمهاتكم} “Diharamkan bagi kalian menikahi ibu kalian.” Dalil ini secara khusus menjelaskan tentang masalah menikahi ibu, serta menunjukan hukum tentang haramnya menikahi seorang ibu . Mengecualikan dari pada hukum tafshiliyyah, yaitu dalil-dalil Ijmaliyyah (global) seperti: Ilmu Ushul Fiqh, begitu juga Ilmu Rasulallah Saw, karena ilmu beliau melalui wahyu yang diturunkan oleh malaikat Jibril .

2. Definisi Ushul Fiqh setelah terbentuk menjadi ilmu tersendiri.
Ushul Fiqh jika dipandang sebagai nama cabang ilmu atau menjadi Laqoban (gelar atau sebutan) tersendiri, maka kata“Ushul Fiqh” didefinisikan secara keseluruhan, dan tidak bisa dipisah-pisahkan, karena apabila dipisah-pisahkan tidak akan menunjukan makna yang dikehendaki. Adapun definisi uhsul fiqh setelah menjadi nama cabang ilmu adalah: Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang masih global dan cara menggunakanya serta menentukan keadaan dari penentu hukum (mujtahid) .
Maksud “Masih global” yaitu: Kaidah-kaidah umum yang tidak membahas masalah secara khusus seperti kaidah {ألامر للوجوب} “Perintah menuntut atas kewajiban”, atau {ألنهي للتحريم} “Larangan menuntut atas keharaman”
Maksud “Cara menggunakanya” yaitu cara menyimpulkan hukum ketika dalam suatu nash terdapat kontradiksi (ta’arudh), atau terdapat kalimat yang masih mutlaq, muqayyad, mujmal ataupun umum. Dengan memahami metode-metode ushul fiqh, maka mujtahid akan mampu mengambil kesimpulan hukumnya.
Maksud “Keadaan dari penentu hukum” yaitu mengenal keadaan mujtahid. Mujtahid dinamakan penentu hukum karena dia dapat menentukan sendiri hukum-hukum dari dalil-dalinya sehingga sampai ketingkatan ijtihad. Adapun mengenal mujtahid dan syarat-syarat ijtihad serta hukumnya dan semisalnya akan dibahas lebih lanjut dalam bab syarat mujtahid dan mufti.
Dalam pembahasan uhsul fiqh, sangat diperlukan peranan ilmu-ilmu lain untuk memahami kaidah-kaidah ushul fiqh dalam menentukan hukum-hukum syar’i, seperti Ilmu Kalam (ilmu yang membahas tentang ketuhanan dan kenabian), Ilmu Nahwu (Tata Bahasa), Ilmu Tafsir, Ilmu Hadist. Tanpa dibantu ilmu-ilmu tersebut pembahasan ushul fiqh tidak akan menemui sasarannya.

C. MANFA’AT UHSUL FIQH
Ilmu Ushul Fiqh merupakan ilmu yang sangat berguna dan bermanfaat dalam perkembangan syari’at islam, sebagai kebutuhan untuk menangani masalah hukum-hukum islam yang tidak ada dalam al–Qur’an dan Hadist, khususnya pada masa-masa saat ini. Adapun kegunaan atau manfaat ushul fiqh adalah sebagai berikut:
Dengan ushul Fiqh, ilmu agama akan lebih hidup dan berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan zaman sekarang.
Dengan ushul fiqh, ilmu pengetahuan agama tidak akan terasa jumud
Dengan ushul fiqh, seseorang dapat mengatasi problem-problem dalam hukum syari’at yang tidak ada dalam al–Qur’an dan Hadist
Dengan ushul fiqh, seseorang dapat memformulasikan hukum-hukum dalam fiqh
Dengan ushul fiqh, orang dapat menjadi mujtahid dan akan terhindar taqlid buta, kalau tidak dapat menjadi mujtahid, bisa menjadi Muttabi yang baik (orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu.

D. TOPIKALITAS USHUL FIQH DALAM ISTIMBAT SUATU HUKUM
Dalam menciptakan suatu hukum, ushul fiqh merupakan topikalitas yang sangat penting dalam membentuk suatu kaidah-kaidah hukum syari’at dari sumbernya yaitu al–Qur’an dan Hadist, yang diformulasikan menjadi hukum fiqh.
Adapun topikalitas dalam pembahasan ilmu ushul fiqh meliputi :
Membahas bentuk –bentuk dan macam macam hukum seperti Hukum Taklifi (wajib, sunnah, mubah,makruh, haram) dan Hukum Wadhi’ (sabab, syarat, mani’, illat, shah, batal, azimah, dan rukhsah).
Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenai hukum (mahkum fihi). Apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuanya atau tidak, menyangkut hubungan manusia atau tuhan, atau dengan kemauan sendiri atau dipaksa dan sebagainya.
Masalah suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum alaih), apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif atau tidak padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyyah atau bukan.
Membahas sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia (awarid muktasbah) dan keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia (awarid samawiyah).
Masalah ra’yu, ijtihad, ittiba’, dan taqlid: Meliputi kedudukan ro’yu dan batas-batas pengunaanya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat–syarat mujtahid, bahaya taqlid dan lain sabagainya.
Masalah Adillah Syar’iyyah yang meliputi; pembahsan al–Qur’an, as–Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab, Sadzahabus Shahabi, al–‘Urf, Syar’u Manqoblana, Sadduz Zari’ah, Maqoshidus Syari’ah.
Masalah Istimbath dan Istidlal meliputi; makna Dzahir Nash, Takwil dalalah lafadz, Mantuq dan Mafhum yang beraneka ragam, ‘Am dan Khos, Muthlaq, Muqoyyad, Nasihk, Mansukh dan sebagainya.

E. KESIMPULAN
Setelah menjelaskan sejarah singkat tentang semua keterangan diatas dapat disimpulkan, bahwa ilmu fiqh dan ushul fiqh telah ada pada saat yang bersamaan, namun pada saat itu ilmu ushul fiqh belum dipandang sebagai suatu ilmu, tetapi metode-metode yang telah digunakan untuk menetapkan suatu hukum pada saat itu telah mengadopsi teori dan konsep ushul fiqh yang berdasarkan al–Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Ilmu Ushul Fiqh dikodifikasikan pada masa Imam Syafi’i, dengan karyanya yang berjudul ar-Risalah (sepucuk surat). Setelah masa Imam Syafi’i banyak karya–karya di bidang ushul fiqh yang bermunculan, itu menandakan bahwa perkembangan ilmu Ushul fiqh sangat pesat pada masa itu. Dan dalam definisi Ushul fiqh Ulama mebagi menjadi 2 definisi.
1. Definisi ushul fiqh sebelum terbentuk menjadi Ilmu tersendiri
2. Definisi ushul fiqh setelah terbentuk menjadi Ilmu tersendiri
Selain itu ilmu ushul fiqh sangat penting dan bermanfaat sekali untuk mengatasi hukum –hukum islam yang tidak terdapat dalam al –Qur’an dan As – Sunnah, khususnya pada zaman–zaman sekarang ini. Dalam Ilmu Ushul Fiqh terdapat topikalitas yang harus dipahami, agar dapat mengetahui bagaimana cara menggali hukum –hukum syari’at dari sumbernya… Wallahu A’lam.

DAFTAR PUSTAKA:

1. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, DEPAG Republik Indonesia.
2. Tarikh at-Tasyri’ Islami, karya Muhammad as-sayis, Dar Al-Kutub, Beirut Lebanon.
3. Bulugus Shul, karya Yahya Bin Umar Ad Dhorir, Duraihimi, Yaman.
4. Ilmu Ushul Fiqh, karya Muhammad Abu An-Nur Zuhair, Maktabah Al – Ahariyah, Kairo, Mesir.
5. At–Ta’siiss Fi Ushulil Fiqh ‘Ala Dhauil Kitab Wassunnah, karya Musthofa bin Muhammad, Maktabah Islamiyah.
6. Al–Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Karya Abdul Kariem Zaidan, Ad-Dar Al–Islamiy, Oman, Ordon.
7. Minhaj Al-Wushul fi Ilmi Ushul, Karya Nashiruddin Al-Baidhowi, Daru Ibnu Hazim, Arab Saudi.
8. Syarah Mandzumah Al-Waraqat, karya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki.
9. Ghoyah Al-Wushul syarah Lubb Al-Ushul, Karya Zakariya Al-Anshari, Dar Ihya’, semarang, Indonesia.
10. Ushul Fiqh Islam, karya Muhammad Zakariyya Ak-Bardasi, Darustaqofah, Kairo,
Mesir.
11. Subulus Salam Fi syarhi Bulughul Maram, karya Muhammad Isma’il Amir As - Shon’ani, Darul Hadist, Kairo –Mesir.
12. Formulasi Nalar Ushul Fiqh, Karya M. Naufal Irsyad, PPI Hudaidah.
13. KBBI (Kamus Buku Besar Indonesia).

Hudaidah, 17 September 2013 M.
Penulis,
Ahmad Najih Zaeni
Infokom FKI – FUQAHA

NB: Tulisan ini dikaji dan dipresentasikan oleh penulis dalam Forum Kajian Ilmiah – Fiqh, Ushul Fiqh dan Qawa’id Fiqhiyyah ( FKI – FUQAHA ) pada malam Kamis 18 September 2013 M. di Kampus Darul ‘Ulum Asy-Syar’iyyah Hudaidah Yaman.



**********

Di bawah ini kami cantumkan beberapa pertanyaan yang masuk pada kajian diskusi mingguan FKI-FUQAHA (18-09-2013), dengan judul “STUDI ILMU USHUL FIQH: Sejarah, Pengertian, Manfaat dan Topikalitasnya Dalam Istinbat (Menciptakan) Hukum”.
1. Bisakah Rasulullah Saw dikatakan berijtihad sedangkan beliau adalah sumber syari’at itu sendiri?
2. Apakah pada zaman sekarang telah tertutup pintu untuk berijtihad dan menghasilkan suatu hukum yang baru?
3. Sejauh mana kita bisa menghasilkan hukum dengan akal (logika)?
4. Bisakah anda menyatakan bahwa sunnah atau amalan Nabi Saw itu sesuai dengan zaman yang serba modern ini?

Jawaban:
1. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat diantara ulama. Menurut golongan Asy-‘Ariyyah dan Mu’tazilah bahwa nabi tidak boleh melakukan ijtihad, karena semua perkataan dan pernyataan yang keluar dari mulut nabi SAW adalah berdasarkan atas wahyu yang turun kepada beliau baik Lafdhan Wa Ma’nan (Al-Qur’an) atau Lafdzan Duna Ma’nan (Hadits). Sementara ijtihad merupakan salah satu metode penggalian hukum yang notabene-nya menggunakan pemikiran akal, sedangkan nabi tidak diperkenankan menetapkan segala sesuatu dengan akal.
Pendapat kedua yang dimotori Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad mengatakan bahwa nabi boleh melakukan ijtihad, hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk melakukan musyawarah “Bermusyawarahlah kamu sekalian dalam segala urusanmu”. Sementara musyawarah sendiri adalah cara untuk mencari mufakat dalam memutuskan suatu masalah, dan ini adalah bagian dari konsep ijtihad yang terkenal dengan Ijtihad Jama’i. Ayat ini turun secara umum, sehingga Nabi SAW masuk dalam khithab ini. Untuk lebih jelasnya, lihat kitab An-Nafahat Syarah Al-Waraqat hal: 92-93. Dalil lain yang menguatkan bahwa nabi boleh melakukan ijtihad adalah firman Allah SWT berikut ini:
قول تعالى:" ماكان لنبي أن يكون له أسرى حتى يثخن في الآرض" وقوله تعالى: "عفاالله عنك لم أذنت لهم"
Sehingga memandang dalil dan alasan yang dikemukakan para ulama diatas, Forum lebih condong pada pendapat kedua yang menyatakan bahwa Ijtihad pada diri Nabi Saw hukumya Jaiz (boleh) serta semua yang di ijtihadi oleh Nabi SAW adalah suatu kebenaran yang mutlak.
2. Tidak, tidak akan pernah tertutup pintu untuk berijtihad maupun menghasilkan hukum-hukum baru, akan tetapi untuk melakukan semua itu seseorang haruslah mencapai tingkatan mujtahid dengan memenuhi semua persaratan-persaratan yang sangat kompleks dan ketat. Dan untuk menggali suatu hukum juga dibutuhkan kemampuan dalam segala hal dari semua fan-fan ilmu. Dalam masalah ini, Sayyid Alwi Al-Maliki menjelaskan secara panjang lebar mengenai wacana Insidad Bab Ijtihad (tertutupnya pintu Ijtihad) yang saat ini ramai dibicarakan. Silahkan baca kitab Majmu’ Fatawa Rasa’il hal: 54-55.

3. Di dalam menghasilkan suatu hukum syar’i di tetapkan dengan 2 hal yaitu : Dalil-dalil Qoth’i seperti al-Qur’an, Hadits Mutawatir dan Ijma’ dan dalil-dalil Dzhonni seperti Hadits Ahad dan Qiyas. Mengecualikan dari hukum syar’i yaitu Hukum Aqliyyah (akal), maka disini akal tidak mendapatkan peran dalam menghasilkan hukum syar’i akan tetapi suatu hal yang tidak berkaitan dengan syari’at disini di perkenankan seseorang untuk memakai akal (logika) seperti ilmu 1 ditambah 1 itu 2.

4. Sunnah-sunnah Nabi muhammad Saw itu tidaklah bertentangan dengan zaman, kondisi dan orang yang menjalaninya. Adapun sunnah itu terbagi tiga kategori: Sunnah Mu’akkadah, Sunnah Ghairo Muakkadah dan sunnah Fadhilah atau Zaidah. Mungkin yang dimaksud adalah kategori ketiga, bahwasanya sunnah fadhilah adalah perilaku Nabi Saw dalam kehidupanya sebagai halnya seorang manusia biasa (sifat Jibillah) seperti makan, minum dan lain-lainya. Dalam hal ini seseorang tidaklah di tuntut untuk melakukanya akan tetapi ketika dilakukan dengan niat untuk mengikuti Nabi Saw dalam keseharianya maka itu lebih bagus dan kita akan mendapat pahala. Lebih jelasnya, silahkan baca Karya Dr. Abdul Karim Zaidan dalam Ushul Fiqhnya hal: 39, Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh hal: 112.

Keputusan ini sudah ditash oleh
ketua dan dewan Pembina FKI-FUQAHA
pada tanggal 19 September 2013.


Editor
Nurmansyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar