Berikut ini kami
cantumkan makalah dan hasil diskusi FKI-FUQAHA yang ke II (18 Semtember
2013) yang diselenggarakan di Kampus Universitas Darul 'Ulum As
Syar'iyyah Hudaedah, Yaman.
STUDI ILMU USHUL FIQH:
SEJARAH, PENGERTIAN, MANFAAT DAN
TOPIKALITASNYA DALAM ISTINBAT (MENCIPTAKAN) HUKUM
A. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Ushul Fiqh bukanlah
ilmu yang baru lahir pada zaman sekarang ini, akan tetapi ushul fiqh
adalah ilmu yang sejak dulu sudah ada semenjak adanya ilmu fiqh . Ushul
Fiqh dan Fiqh adalah ilmu yang memiliki ketarkaitan erat dalam menjalin
hubungannya dan tidak bisa dipisahkan. Ushul Fiqh dapat di ibaratkan
seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan menghasilkan sebuah
produk yaitu ilmu fiqh. Akan tetapi ilmu fiqh lebih dulu pembukuannya
dari pada ilmu ushul fiqh, mulai dari penataan, kaidah-kaidah,
peruntutan masalah sampai penertiban dalam bab-babnya .
1. Masa Nabi Muhammad Saw
Pada zaman Rasulullah Saw dan juga para sahabat, ilmu ushul fiqh sudah
ada dan dipraktekkan dalam penggalian hukum syar’i (istinbat hukum),
namun belum terbukukan seperti saat ini, karena pada masa itu Rasulullah
Saw tidak membutuhkan kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh dalam menetapkan
suatu hukum, karena semua permasalahan dapat dikembalikan dan diatasi
langsung oleh Rasulullah, karena beliau merupakan mufti seluruh umat
sekaligus penjelas dan pembawa hukum-hukum Allah Swt. Adapun sumber
hukum yang menjadi landasan Rasulallah Saw dalam berrfaftwa adalah
al-Qur’an dan Sunnah-sunnahnya.
Pasa zaman dahulu, Rasulullah juga
melakukan ijtihad ketika tidak ada penjelasan al-Qur’an dan Sunnah.
Salah satu kesan atau bukti bahwa Rasulullah melakukan ijtihad, yaitu
beliau melakukan peng-qiyasan terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar
bin Khattab ra ketika beliau bertanya kepada Rasulullah: “Wahai
Rasulullah hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar, saya
mencium istri saya, padahal saya sedang berpuasa.” Lalu Rasulullah
bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya kamu berkumur-kumur dengan
air dikala kamu sedang berpuasa?.” Lalu Umar menjawab “Hal seperti itu
tidak apa-apa.” Kemudian Rasulallah bersabda “maka tetaplah kamu
berpuasa .” Peristiwa ini merupakan bukti bahwa semenjak zaman
Rasulullah, ilmu ushul fiqh sudah ada dan di praktekan langsung oleh
beliau dengan para sahabatnya dalam mengatasi suatu masalah hukum-hukum
syariat islam tanpa membutuhkan pembukuan atau kaidah-kaidah ilmu itu
sendiri, karena mereka mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat
al-Qur’an (asbabul nuzul), sebab-sebab turunnya al- Hadist (asbabul
wurud) serta cerdas dalam memahami kandungan makna al-Qur’an, karena
mereka memiliki pengetahuan yang luas terhadap bahasa al-Qur’an yaitu
bahasa arab.
2. Masa Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah
Saw maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum-hukum islam adalah
para sahabat. Pada masa ini banyak sahabat yang melakukan ijtihad ketika
muncul suatu masalah yang tidak ditemukan nash-nashnya dalam al-Qur’an
dan Hadist, pada saat berijtihad para sahabat telah menggunakan
kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun pada saat itu belum dirumuskan dalam
suatu ilmu dan juga tidak perlunya pembukuan karena kedekatan mereka
terhadap Rasulullah serta kepintaran dan kejelian mereka, sehingga
pembentukan serta kodifikasi kaidah-kaidah ushul fiqh juga belum terlalu
dibutuhkan .
Para sahabat melakukan ijtihadnya dalam menetapkan
hukum-hukum islam dengan cara perseorangan maupun secara musyawarah.
Adapun Keputusan atau kesepakatan mereka dari musyawarah dapat di sebut
dengan Ijma’ Sahabat (ijtihad jama’i). Selain itu para sahabat juga
melakukan ijtihad dengan metode Qiyas (ijtihad fardi), yang merupakan
bagian dari konsep ilmu ushul fiqh . Salah satu contoh ijtihad yang
dilakukan sahabat, adalah seperti yang dilakukan oleh Ali Karramallahu
wajhah, ketika menghukumi orang yang minum khomer (arak), beliau
berkata: “Apabila seseorang meminum khomer lalu mabuk, dan ketika sudah
mabuk maka dia akan mengigau. Ketika mengigau dia akan berbuat
semena-mena yang melampaui batas, maka dia melakukan Qodzaf (mencemari
nama baik atau memfitnah). Oleh karena itu keharaman minum arak, selain
ditetapkan dengan nash shorih baik berupa al-Qur’an dan Sunnah, juga
dikuatkan dengan kaidah Sadd ad-Zari’ah .
3. Masa Tabi’in
Setelah masa kurun sahabat beralihlah ke kurun Tabi’in. Pada kurun
tabi’in yang dimulai sekitar abad II sampai III hijriyah ini pun
pembukuan ilmu usul fiqh juga belum terlalu dibutuhkan, karena para
tabi’in masih bisa mengambil teori penggalian hukum syar’i dari para
sahabat nabi yang masih tersisa, disamping itu kurun antara nabi dan
tabi’in dianggap masih dekat, sehingga mereka masih bisa mempertanyakan
langsung kepada para sahabat .
4. Masa Tabi’ Tabi’in
Pada
masa ini, metode istinbat (penetapan) hukum semakin dibutuhkan para
mujtahid. Hal ini disebabkan bertambah luasnya penaklukan-penaklukan
(al-Futuhat) yang dilakukan Khilafah al-Islamiyyah, hingga sampai ke
daerah–daerah yang di huni orang-orang non arab (ajam), yang menyebabkan
beragam budaya, situasi dan kondis, serta adat istiadat yang semakin
kompleks. Sehingga munculah masalah baru yang tidak didapati
penjelasannya dalam al-Qur’an dan Sunnah .
Para Tabi’in ini
melakukan ijtihadnya di berbagai daerah islam, seperti Madinah, Kufah,
Basrah dan lain-lain. Dalam menetapkan hukum-hukum islam tersebut,
banyak para Tabi’in yang berbeda metodenya, sehingga terjadilah
perbedaan dan perdebatan di antara mereka, yang pada akhirnya
memunculkan dua Madrasah Besar yang memiliki keistemewaan masing-masing
dalam konsep istinbath hukum. Yaitu antara madrasah Madinah yang
terkenal dengan metode “Riwayat Hadits” yang di pelopori Imam Malik dan
madrasah Kuffah yang terkenal dengan metode “Ahli Ro’yu” yang dipelopori
para murid Imam Abu Hanifah seperti Abu Yusuf dan Hasan as-Syaibani .
Selain itu pula terjadinya penyusupan bahasa-bahasa non arab ke dalam
bahasa arab, baik dalam ejaan, kata, ataupun susunan kalimat, serta
tulisan maupun bacaan, yang menambah deretan fenomena yang semakin
mempersulit memahami teks-teks al-Qur’an dan Sunnah. Namun pada masa ini
ilmu ushul fiqh pun masih belum di bukukan dan di susun
kaidah-kaidahnya.
5. Awal Muncul Ilmu Ushul Fiqh
Perbedaan
dan perseteruan dua madrasah diatas telah memunculkan perhatian khusus
diantara para ulama. Diantara ulama yang mempunyai perhatian terhadap
hal ini adalah al-Imam Abdurrahman al Mahdi (135-198 H). Beliau meminta
kepada Imam as-Syafi’i (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang
prinsip-prinsip berijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman secara
umum. Maka lahirlah kitab ar–Risalah (Sepucuk Surat) karya Imam
as–Syafi’i sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh. Beliaulah orang
pertama yang menulis buku ushul fiqh, sebagai rujukan bagi para ulama
sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini. Beliau
memang pantas sebagai Nasirus Sunnah (pembela sunnah) dan juga pencetus
terciptanya ilmu ushul fiqh, karena beliau mempunyai pengetahuan luas
dan dalam tentang madrasah Ahli Hadist dan madrasah Ahli Ro’yu. Selain
ar–Risalah Imam Syafi’i juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul fiqh,
seperti; Kitab Jima’ul Ilmi, Ibtholul Ihtisan dan Ikhtilaful Hadist .
Setelah munculnya kitab ar–Risalah, banyak ulama-ulama yang bermunculan
membuat karya-karya ilmiah, sehingga penyusunan ilmu ushul fiqh terbagi
menjadi 3 Thoriqoh yaitu:
1. Thoriqotul Mutakallimin
2. Thoriqotul Hanafiyah
3. Thoriqotul Muta’akhiri
Itulah sejarah ringkas tentang bagaimana asal muasal terbentuknya ilmu ushul fiqh menjadi dalam satu cabang ilmu tersendiri.
B. PENGERTIAN USUL FIQH
Ushul Fiqh merupakan ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk
memahami hukum-hukum syari’at, yang diambil dari al- Qur’an dan Hadist.
Hukumnya Wajib bagi penuntut ilmu, khususnya ilmu syari’at untuk
mempelajarinya dan mengetahui bagaimana cara untuk menggali dalil dalam
suatu hukum, khususnya pada zaman-zaman modern seperti saat ini. Ushul
Fiqh terdiri dari dua susunan kata, yaitu “Ushul” dan “Fiqh”. Para ulama
Ahli Usuliyyin telah menjelaskan, bahwa “Ushul Fiqh” mempunyai dua
definisi yang berbeda .
1. Definisi Ushul fiqh sebelum terbentuk menjadi ilmu tersendiri .
Ushul fiqh sebelum dibentuk menjadi ilmu tersendiri dalam artian hanya
berupa susunan yang saling bersandingan, dalam istilah nahwu bisa
dikatakan {تركيب اضافي} berupa susunan dari kata “Ushul” dan “Fiqh”.
Adapaun kata “Ushul” adalah jama’ dari kata “Ashlun” secara
etimologi berarti asas atau apa-apa yang menjadi pondasi, sebagaimana
yang di firmankan Allah dalam surat Ibrahim ayat 24 .
Sedangkan kata “Ushul” secara istilah mempunyai dua arti yaitu :
1. Kata Ushul bermakna Dalil , misal : {الاصل في تحريم الزنا } asal
dari keharaman zina, sebagaimana dalam firman Allah Swt {ولا تقربوا
الزنا} “Janganlah kalian mendekati zina,” dari ayat ini menunjukan
bahwa kata “Ushul” mempunyai makna “Dalil”.
2. Kata Ushul bermakna
Kaidah yang tetap, misal: seperti perkataan ulama-ulama ahli nahwu :
{الاصل في الفاعل الرفع وفي المفعول النصب } “ Asal-usul dalam Fail adalah
di baca Rafa’dan Maf’ul Bieh di baca Nashab.” Dalam perkataan ulama
ahli nahwu bisa diketahui, bahwa kata “Ushul” bermakna “Kaidah yang
tetap .”
Adapun kata “Fiqh” secara etimologi berarti “Faham”. Imam
ibnu Faris berkata dalam kitabnya bernama “al–Mujmal”, bahwa kata “Fiqh”
adalah {العلم} mengerti atau mengetahui, yaitu setiap mengetahui atau
mengerti sesuatu disebut “Fiqh”, sebagai mana firman Allah dalam surat
at-Toha ayat : 28 .
Sedangkan “Fiqh” secara istilah adalah:
Mengetahui terhadap hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah dengan
dalil-dalinya yang detail.
Maksud “Mengetahui” disini adalah
mengetahui hukum syari’at yang meliputi ilmu secara yakin ataupun
dzhon (dugaan). Namun karena karakteristik dari fiqh adalah ijtihadi,
maka fiqh hanya membahas hukum syari’at yang masih praduga (dzhon).
Adapun hukum yang kapasitasnya yaqin, maka tidak Masuk dalam ranah ilmu
fiqh, melainkan masuk dalam pembahasan ilmu Aqidah .
Maksud
“Hukum-Hukum Syar’i” yaitu hukum-hukum agama yang ditetapkan dengan
dalil-dalil Naqliyah (al-Qur’an dan Hadist), Ijma’, ataupun Qiyas.
Mengecualikan dari hukum-hukum syar’i, yaitu hukum Aqliyyah (penetapan
hukum dengan secara logika) seperti: Satu adalah setengah dari dua.
Mengecualikan juga dari hukum Hissiyah (penetapan hukum dengan memakai
perasaan) seperti: Api terasa panas dan membakar. Mengecualikan juga
dari hukum Tajribah (penetapan hukum dengan cara eksperimen) seperti:
Mengetahui bahwasannya racun itu mematikan. Dan mengecualikan juga dari
hukum Wadh’iyyah (penetapan hukum dengan cara determinasi) seperti:
Mubtada terbentuk dari jumlah ismiyyah dan selalu dibaca Rafa’.
Maksud “Amaliyyah” yaitu perkara yang berkaitan dengan operasional atau
pekerjaan seorang Mukallaf seperti Shalat, Zakat, Haji dan lain-lain.
Mengecualikan dari pada itu yaitu perkara yang berkaitan dengan
I’tiqodiyah (keyakinan), seperti: Mentauhidkan Allah Swt atau mengenal
nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka tidak dinamakan fiqh.
Maksud
“Dengan dalil-dalil yang detail (tafshiliyyah)” adalah dalil-dalil yang
hanya menjelaskan masalah dan hukum-hukum tertentu. Dalil–dalil ini
diperoleh dengan cara an–Nadzar (mengamati) dan Istidlal (pengambilan
dalil). Sebagaimana Allah berfirman dalam surat an–Nisa’ ayat 23 : {حرمت
عليكم أمهاتكم} “Diharamkan bagi kalian menikahi ibu kalian.” Dalil ini
secara khusus menjelaskan tentang masalah menikahi ibu, serta menunjukan
hukum tentang haramnya menikahi seorang ibu . Mengecualikan dari pada
hukum tafshiliyyah, yaitu dalil-dalil Ijmaliyyah (global) seperti: Ilmu
Ushul Fiqh, begitu juga Ilmu Rasulallah Saw, karena ilmu beliau melalui
wahyu yang diturunkan oleh malaikat Jibril .
2. Definisi Ushul Fiqh setelah terbentuk menjadi ilmu tersendiri.
Ushul Fiqh jika dipandang sebagai nama cabang ilmu atau menjadi Laqoban
(gelar atau sebutan) tersendiri, maka kata“Ushul Fiqh” didefinisikan
secara keseluruhan, dan tidak bisa dipisah-pisahkan, karena apabila
dipisah-pisahkan tidak akan menunjukan makna yang dikehendaki. Adapun
definisi uhsul fiqh setelah menjadi nama cabang ilmu adalah: Ilmu yang
membahas dalil-dalil fiqh yang masih global dan cara menggunakanya serta
menentukan keadaan dari penentu hukum (mujtahid) .
Maksud “Masih
global” yaitu: Kaidah-kaidah umum yang tidak membahas masalah secara
khusus seperti kaidah {ألامر للوجوب} “Perintah menuntut atas kewajiban”,
atau {ألنهي للتحريم} “Larangan menuntut atas keharaman”
Maksud
“Cara menggunakanya” yaitu cara menyimpulkan hukum ketika dalam suatu
nash terdapat kontradiksi (ta’arudh), atau terdapat kalimat yang masih
mutlaq, muqayyad, mujmal ataupun umum. Dengan memahami metode-metode
ushul fiqh, maka mujtahid akan mampu mengambil kesimpulan hukumnya.
Maksud “Keadaan dari penentu hukum” yaitu mengenal keadaan mujtahid.
Mujtahid dinamakan penentu hukum karena dia dapat menentukan sendiri
hukum-hukum dari dalil-dalinya sehingga sampai ketingkatan ijtihad.
Adapun mengenal mujtahid dan syarat-syarat ijtihad serta hukumnya dan
semisalnya akan dibahas lebih lanjut dalam bab syarat mujtahid dan
mufti.
Dalam pembahasan uhsul fiqh, sangat diperlukan peranan
ilmu-ilmu lain untuk memahami kaidah-kaidah ushul fiqh dalam menentukan
hukum-hukum syar’i, seperti Ilmu Kalam (ilmu yang membahas tentang
ketuhanan dan kenabian), Ilmu Nahwu (Tata Bahasa), Ilmu Tafsir, Ilmu
Hadist. Tanpa dibantu ilmu-ilmu tersebut pembahasan ushul fiqh tidak
akan menemui sasarannya.
C. MANFA’AT UHSUL FIQH
Ilmu Ushul
Fiqh merupakan ilmu yang sangat berguna dan bermanfaat dalam
perkembangan syari’at islam, sebagai kebutuhan untuk menangani masalah
hukum-hukum islam yang tidak ada dalam al–Qur’an dan Hadist, khususnya
pada masa-masa saat ini. Adapun kegunaan atau manfaat ushul fiqh adalah
sebagai berikut:
Dengan ushul Fiqh, ilmu agama akan lebih hidup dan berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan zaman sekarang.
Dengan ushul fiqh, ilmu pengetahuan agama tidak akan terasa jumud
Dengan ushul fiqh, seseorang dapat mengatasi problem-problem dalam hukum syari’at yang tidak ada dalam al–Qur’an dan Hadist
Dengan ushul fiqh, seseorang dapat memformulasikan hukum-hukum dalam fiqh
Dengan ushul fiqh, orang dapat menjadi mujtahid dan akan terhindar
taqlid buta, kalau tidak dapat menjadi mujtahid, bisa menjadi Muttabi
yang baik (orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui
asal-usul pendapat itu.
D. TOPIKALITAS USHUL FIQH DALAM ISTIMBAT SUATU HUKUM
Dalam menciptakan suatu hukum, ushul fiqh merupakan topikalitas yang
sangat penting dalam membentuk suatu kaidah-kaidah hukum syari’at dari
sumbernya yaitu al–Qur’an dan Hadist, yang diformulasikan menjadi hukum
fiqh.
Adapun topikalitas dalam pembahasan ilmu ushul fiqh meliputi :
Membahas bentuk –bentuk dan macam macam hukum seperti Hukum Taklifi
(wajib, sunnah, mubah,makruh, haram) dan Hukum Wadhi’ (sabab, syarat,
mani’, illat, shah, batal, azimah, dan rukhsah).
Masalah perbuatan
seseorang yang akan dikenai hukum (mahkum fihi). Apakah perbuatan itu
sengaja atau tidak, dalam kemampuanya atau tidak, menyangkut hubungan
manusia atau tuhan, atau dengan kemauan sendiri atau dipaksa dan
sebagainya.
Masalah suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum
alaih), apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat
taklif atau tidak padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyyah atau
bukan.
Membahas sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini
meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia (awarid muktasbah)
dan keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia (awarid samawiyah).
Masalah ra’yu, ijtihad, ittiba’, dan taqlid: Meliputi kedudukan ro’yu
dan batas-batas pengunaanya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat–syarat
mujtahid, bahaya taqlid dan lain sabagainya.
Masalah Adillah
Syar’iyyah yang meliputi; pembahsan al–Qur’an, as–Sunnah, Ijma’, Qiyas,
Istihsan, Istishab, Sadzahabus Shahabi, al–‘Urf, Syar’u Manqoblana,
Sadduz Zari’ah, Maqoshidus Syari’ah.
Masalah Istimbath dan Istidlal
meliputi; makna Dzahir Nash, Takwil dalalah lafadz, Mantuq dan Mafhum
yang beraneka ragam, ‘Am dan Khos, Muthlaq, Muqoyyad, Nasihk, Mansukh
dan sebagainya.
E. KESIMPULAN
Setelah menjelaskan
sejarah singkat tentang semua keterangan diatas dapat disimpulkan, bahwa
ilmu fiqh dan ushul fiqh telah ada pada saat yang bersamaan, namun pada
saat itu ilmu ushul fiqh belum dipandang sebagai suatu ilmu, tetapi
metode-metode yang telah digunakan untuk menetapkan suatu hukum pada
saat itu telah mengadopsi teori dan konsep ushul fiqh yang berdasarkan
al–Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Ilmu Ushul Fiqh dikodifikasikan pada
masa Imam Syafi’i, dengan karyanya yang berjudul ar-Risalah (sepucuk
surat). Setelah masa Imam Syafi’i banyak karya–karya di bidang ushul
fiqh yang bermunculan, itu menandakan bahwa perkembangan ilmu Ushul fiqh
sangat pesat pada masa itu. Dan dalam definisi Ushul fiqh Ulama mebagi
menjadi 2 definisi.
1. Definisi ushul fiqh sebelum terbentuk menjadi Ilmu tersendiri
2. Definisi ushul fiqh setelah terbentuk menjadi Ilmu tersendiri
Selain itu ilmu ushul fiqh sangat penting dan bermanfaat sekali
untuk mengatasi hukum –hukum islam yang tidak terdapat dalam al –Qur’an
dan As – Sunnah, khususnya pada zaman–zaman sekarang ini. Dalam Ilmu
Ushul Fiqh terdapat topikalitas yang harus dipahami, agar dapat
mengetahui bagaimana cara menggali hukum –hukum syari’at dari sumbernya…
Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA:
1. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, DEPAG Republik Indonesia.
2. Tarikh at-Tasyri’ Islami, karya Muhammad as-sayis, Dar Al-Kutub, Beirut Lebanon.
3. Bulugus Shul, karya Yahya Bin Umar Ad Dhorir, Duraihimi, Yaman.
4. Ilmu Ushul Fiqh, karya Muhammad Abu An-Nur Zuhair, Maktabah Al – Ahariyah, Kairo, Mesir.
5. At–Ta’siiss Fi Ushulil Fiqh ‘Ala Dhauil Kitab Wassunnah, karya Musthofa bin Muhammad, Maktabah Islamiyah.
6. Al–Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Karya Abdul Kariem Zaidan, Ad-Dar Al–Islamiy, Oman, Ordon.
7. Minhaj Al-Wushul fi Ilmi Ushul, Karya Nashiruddin Al-Baidhowi, Daru Ibnu Hazim, Arab Saudi.
8. Syarah Mandzumah Al-Waraqat, karya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki.
9. Ghoyah Al-Wushul syarah Lubb Al-Ushul, Karya Zakariya Al-Anshari, Dar Ihya’, semarang, Indonesia.
10. Ushul Fiqh Islam, karya Muhammad Zakariyya Ak-Bardasi, Darustaqofah, Kairo,
Mesir.
11. Subulus Salam Fi syarhi Bulughul Maram, karya Muhammad Isma’il Amir As - Shon’ani, Darul Hadist, Kairo –Mesir.
12. Formulasi Nalar Ushul Fiqh, Karya M. Naufal Irsyad, PPI Hudaidah.
13. KBBI (Kamus Buku Besar Indonesia).
Hudaidah, 17 September 2013 M.
Penulis,
Ahmad Najih Zaeni
Infokom FKI – FUQAHA
NB: Tulisan ini dikaji dan dipresentasikan oleh penulis dalam Forum
Kajian Ilmiah – Fiqh, Ushul Fiqh dan Qawa’id Fiqhiyyah ( FKI – FUQAHA )
pada malam Kamis 18 September 2013 M. di Kampus Darul ‘Ulum
Asy-Syar’iyyah Hudaidah Yaman.
**********
Di bawah ini kami cantumkan beberapa pertanyaan yang masuk pada kajian
diskusi mingguan FKI-FUQAHA (18-09-2013), dengan judul “STUDI ILMU USHUL
FIQH: Sejarah, Pengertian, Manfaat dan Topikalitasnya Dalam Istinbat
(Menciptakan) Hukum”.
1. Bisakah Rasulullah Saw dikatakan berijtihad sedangkan beliau adalah sumber syari’at itu sendiri?
2. Apakah pada zaman sekarang telah tertutup pintu untuk berijtihad dan menghasilkan suatu hukum yang baru?
3. Sejauh mana kita bisa menghasilkan hukum dengan akal (logika)?
4. Bisakah anda menyatakan bahwa sunnah atau amalan Nabi Saw itu sesuai dengan zaman yang serba modern ini?
Jawaban:
1. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat diantara ulama. Menurut
golongan Asy-‘Ariyyah dan Mu’tazilah bahwa nabi tidak boleh melakukan
ijtihad, karena semua perkataan dan pernyataan yang keluar dari mulut
nabi SAW adalah berdasarkan atas wahyu yang turun kepada beliau baik
Lafdhan Wa Ma’nan (Al-Qur’an) atau Lafdzan Duna Ma’nan (Hadits).
Sementara ijtihad merupakan salah satu metode penggalian hukum yang
notabene-nya menggunakan pemikiran akal, sedangkan nabi tidak
diperkenankan menetapkan segala sesuatu dengan akal.
Pendapat kedua
yang dimotori Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad mengatakan bahwa nabi boleh
melakukan ijtihad, hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan umat Islam untuk melakukan musyawarah “Bermusyawarahlah
kamu sekalian dalam segala urusanmu”. Sementara musyawarah sendiri
adalah cara untuk mencari mufakat dalam memutuskan suatu masalah, dan
ini adalah bagian dari konsep ijtihad yang terkenal dengan Ijtihad
Jama’i. Ayat ini turun secara umum, sehingga Nabi SAW masuk dalam
khithab ini. Untuk lebih jelasnya, lihat kitab An-Nafahat Syarah
Al-Waraqat hal: 92-93. Dalil lain yang menguatkan bahwa nabi boleh
melakukan ijtihad adalah firman Allah SWT berikut ini:
قول تعالى:" ماكان لنبي أن يكون له أسرى حتى يثخن في الآرض" وقوله تعالى: "عفاالله عنك لم أذنت لهم"
Sehingga memandang dalil dan alasan yang dikemukakan para ulama diatas,
Forum lebih condong pada pendapat kedua yang menyatakan bahwa Ijtihad
pada diri Nabi Saw hukumya Jaiz (boleh) serta semua yang di ijtihadi
oleh Nabi SAW adalah suatu kebenaran yang mutlak.
2. Tidak, tidak
akan pernah tertutup pintu untuk berijtihad maupun menghasilkan
hukum-hukum baru, akan tetapi untuk melakukan semua itu seseorang
haruslah mencapai tingkatan mujtahid dengan memenuhi semua
persaratan-persaratan yang sangat kompleks dan ketat. Dan untuk menggali
suatu hukum juga dibutuhkan kemampuan dalam segala hal dari semua
fan-fan ilmu. Dalam masalah ini, Sayyid Alwi Al-Maliki menjelaskan
secara panjang lebar mengenai wacana Insidad Bab Ijtihad (tertutupnya
pintu Ijtihad) yang saat ini ramai dibicarakan. Silahkan baca kitab
Majmu’ Fatawa Rasa’il hal: 54-55.
3. Di dalam menghasilkan
suatu hukum syar’i di tetapkan dengan 2 hal yaitu : Dalil-dalil Qoth’i
seperti al-Qur’an, Hadits Mutawatir dan Ijma’ dan dalil-dalil Dzhonni
seperti Hadits Ahad dan Qiyas. Mengecualikan dari hukum syar’i yaitu
Hukum Aqliyyah (akal), maka disini akal tidak mendapatkan peran dalam
menghasilkan hukum syar’i akan tetapi suatu hal yang tidak berkaitan
dengan syari’at disini di perkenankan seseorang untuk memakai akal
(logika) seperti ilmu 1 ditambah 1 itu 2.
4. Sunnah-sunnah Nabi
muhammad Saw itu tidaklah bertentangan dengan zaman, kondisi dan orang
yang menjalaninya. Adapun sunnah itu terbagi tiga kategori: Sunnah
Mu’akkadah, Sunnah Ghairo Muakkadah dan sunnah Fadhilah atau Zaidah.
Mungkin yang dimaksud adalah kategori ketiga, bahwasanya sunnah fadhilah
adalah perilaku Nabi Saw dalam kehidupanya sebagai halnya seorang
manusia biasa (sifat Jibillah) seperti makan, minum dan lain-lainya.
Dalam hal ini seseorang tidaklah di tuntut untuk melakukanya akan tetapi
ketika dilakukan dengan niat untuk mengikuti Nabi Saw dalam
keseharianya maka itu lebih bagus dan kita akan mendapat pahala. Lebih
jelasnya, silahkan baca Karya Dr. Abdul Karim Zaidan dalam Ushul Fiqhnya
hal: 39, Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh hal: 112.
Keputusan ini sudah ditash oleh
ketua dan dewan Pembina FKI-FUQAHA
pada tanggal 19 September 2013.
Editor
Nurmansyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar